Ngut's Inside

Connected Your Mind and Heart

Kartono Seorang Sarjana


Hujan lagi sore ini. Lagi-lagi hujan. Sudah sebulan ini hujan selalu turun setiap hari. Makanya tak ayal bila bulan ini dinamakan Januari: hujan sehari-hari. Kartono masih duduk di sebuah bangku panjang seorang diri, jari tangannya mengapit sebatang rokok kretek, asap pun terus mengepul dari mulutnya. Pandangan matanya sayu tertuju pada sepasang piring-gelas sisa makannya yang semakin basah karena tepat di atasnya tampaklah sebuah lubang kecil pada atap seng yang tengah keropos. Hampir setiap sore ia selalu nongol di warung makan dekat rel kereta api itu.

Di luar hujan masih bergemuruh. Jalanan terlihat basah, di beberapa ruas tampaklah genangan air. Bahkan ia merasakan kakinya basah karena air telah meluap masuk ke warung, seolah menyusulnya. Kartono tampak menyesal karena lupa membawa payung kecilnya. Seandainya tidak lupa ia bisa langsung pulang dan kembali tidur di kost.

Kartono masih melamun. Kini ia menemukan hiburan dengan memandangi dedaunan bergoyang, seolah gemuruh hujan terdengar bagai iringan orkestra yang sanggup menghipnotis semesta alam. Anak-anak pun riuh bergembira, kejar-kejaran, bermain bola. Mereka bersuka cita seolah merayakan kemenangan, padahal hanya hujan.

Sinis sekali. Kartono sudah tidak ingat kapan ia mulai membenci hujan. Mungkin semenjak hujan selalu mengingatkannya pada kesedihan. Sedih yang berkepanjangan. Sedih yang seolah ia rasakan seorang diri. Ingatannya masih jelas sewaktu pulang kemarin, ia bukannya disambut baik oleh orang tua tapi malah dimaki tak henti-henti. Ceramah ibunya masih terngiang di telinga.

“Kuliah mahal malah jadi pengangguran!”

“Tidak Bu, belum dapat panggilan.”

Berkali-kali Kartono menjelaskan tapi sia-sia, semakin sia-sia karena bapaknya pun tak mau mengerti. “Pulang saja, kamu masih bisa pegang cangkul?”

“Tidak Pak.”

“Kuliah diajari apa?”

Setiap kali pulang ke rumah pasti selalu diceramahi, dimaki tak henti-henti. Semakin ia beralasan, semakin di maki. Makanya ia jarang pulang dan sekali pulang pun tak lama-lama, cukup semalam. Semalam pun sudah cukup membuatnya kenyang karena diceramahi. Sebuah ceramah panjang yang semakin membuatnya merasa bersalah kepada sendiri, kepada orang tuanya.

Ia masih teringat ketika pertama kali berpamitan kepada orang tuanya melanjutkan kuliah ke kota. Ia tidak ingin menjadi seperti bapaknya yang hanya bisa memegang cangkul menjadi buruh. Ia juga ingat sudah berapa puluh ekor kambing bapaknya yang dijual untuk membiayai kuliah, tak jarang pula harus mengutang sana-sini. Kakaknya yang telah berkeluarga juga sesekali membantunya tapi tak seberapa karena harus membiayai juga isteri dan kedua anaknya. Penghasilannya sebagai seorang sopir angkot tidak selalu dapat dibanggakan, kadang naik, kadang turun. Tapi itu sudah cukup membantu bagi Kartono.

Kartono sangat berharap setelah kuliah ia dapat bekerja dengan layak dan dapat membantu orang tua. Tapi kali ini harapannya kandas.

Surat lamaran yang telah dilayangkannya ke beberapa instansi belum ada kabarnya, bahkan 2 di antaranya kembali. Berkali-kali pula ia mengikuti tes seleksi tapi selalu gagal. Selalu gagal. Baginya mencari pekerjaan itu lebih susah dari pada mencari kuliah, hanya sedikit lebih murah dari biaya kuliah. Pernah sekali ia ikut tes CPNS dan lolos, tapi akhirnya gagal juga karena tak bisa menyerahkan beberapa rupiah sebagaimana yang disyaratkan panitia. Beberapa rupiah yang sangat besar bagi hitungan Kartono, hampir mendekati total biaya kuliahnya.

Kartono merasa sangat malu kepada orang tuanya. Seandainya dulu ia mau diajak paman Ahmad ke Jakarta, mungkin nasibnya tidak seperti ini. Mungkin kini sudah menjadi orang. Bukan malah orang-orangan sawah. Kartono tersenyum sendiri sewaktu teringat ketika disuruh bapaknya membuat orang-orangan sawah tapi tidak bisa.

“Begini, No.”

“Oh,…”

Kini orang-orangan sawah itu lebih mirip dirinya, boneka buatan manusia untuk menakuti burung-burung pemakan padi. Kini boneka itu adalah dirinya. “Kartono adalah boneka,” berkali-kali ia meyakinkan diri sambil memegangi jidatnya.

Boneka. “Bagaimana kalau aku membuat boneka lalu dijual? Tapi modalnya?” lagi-lagi Kartono kecut. Bisnis batik Rusdiman yang dirintisnya sejak 5 tahun lalu, bangkrut kemarin karena kekurangan modal. “Meminjam bank sama susahnya karena harus punya jaminan,” tuturnya Senin lalu. Kartono lagi-lagi kecut, semakin kecut ketika memegangi jidatnya karena biaya kost dan listrik belum juga dibayarnya selama 2 bulan.

Kuliah selama tiga setengah tahun dengan predikat cum laude hanya menjadikannya seorang karyawan toko yang tak seberapa penghasilnya, selalu di bawah UMR. Dompetnya selalu kosong setelah lewat minggu pertama. Dan selanjutnya ia harus kembali memutar kasak-kusuk pinjam sana-sini, kalaupun tak ada terpaksa hp-nya melayang jadi duit. Selalu saja begitu setiap bulannya, tidak berubah sama sekali. Sungguh tragis.

Pernah suatu ketika ia berangkat ke Jakarta menemui pamannya, tapi apa? Setibanya di sana malah ditertawakan, katanya sudah tidak ada lowongan apalagi untuk sarjana.

“Sarjana itu di kantor, bukan di sini.”

“Tapi aku boleh tinggal di sini?”

“Tiga hari saja!”

Akhirnya Kartono pulang dengan tangan hampa. Berkali-kali ia menelpon pamannya, tapi tetap sama jawabannya; tidak ada lowongan apalagi untuk sarjana.

“Sarjana macam apa aku ini?” Kartono mengutuk dirinya. Lagi-lagi Kartono mengutuk dirinya. Tak habis-habis Kartono mengutuk dirinya.

Dan tiba-tiba hujan pun terhenti.

Kartono melompat, seperti kucing.


Jogjakarta, 2010

Tinggalkan komentar

Information

This entry was posted on 30 Januari 2011 by in Short Story.