Ngut's Inside

Connected Your Mind and Heart

Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa


A. ISI BUKU

Bab I Pemerian terhadap Pengertian Pantheisme dan Monism

Bab pertama dari penulisan karya setebal 450-an halaman ini dipenuhi oleh rumusan deskriptif tentang pengertian pantheisme dan monisme ditinjau dari beberapa literatur. Romo Zoet mengingatkan bahwa merumuskan pengertian pantheisme dan monisme bukanlah tindakan mudah, pasalnya tidak jarang ditemui bahwa definisi keduanya selalu beragam, berkelit-kelindan dan di lain catatan malah bertolak belakang.

Secara garis besar dapat disebutkan bahwa pantheisme merupakan suatu theisme yang menetapkan ketunggalan segala sesuatu berpangkal pada Tuhan dan mengembalikan segala sesuatu itu kembali kepada-Nya. Sementara monisme menetapkan bahwa ketunggalan segala sesuatu itu berpangkal pada dunia, Tuhan terlebur dalam dunia. Dengan kata lain, dunia merupakan Ada yang tunggal dan mutlak.

Dari beberapa deskripsi yang telah dimunculkan dalam tulisan tersebut, Romo Zoet akhirnya mengambil sikap bahwa pengertian yang dimaksud dengan pantheisme dan monisme dalam penelitiannya ialah pendapat-pendapat mengenai Tuhan dan dunia dalam suatu kesatuan hubungan yang sangat intim. Baginya perbedaan makna antara pantheisme dan monisme menjadi tidak terlalu penting karena hanya sebatas perbedaan sudut pandang. Ia menambahkan bahwa sesunggunya pantheisme merupakan sisi religius di dalam monisme.

Selepas kesimpulan di atas, ia mulai menyinggung ranah teknis dalam penelitiannya. Ia tidak bermaksud hendak membuat rumusan baru mengenai pantheisme dan monisme melainkan hanya meneliti sejauh manakah ungkapan-ungkapan dalam sastra suluk dapat dikategorikan dalam pantheisme dan monisme.

Bab II  Pantheisme dan Monisme dalam Islam

Dalam literatur Islam Klasik istilah pantheisme dan monisme barangkali tidak akan pernah dijumpai namun bukan berarti bahwa pandangan-pandangan yang sejalan dengan pengertian tersebut tidak ada. Mistik Islam atau yang lebih lazim dikenal dengan tasawuf, menurut penjelasan Massignon memiliki akar yang sangat kuat yaitu al-Qur’an, sebagaimana yang diketahui bahwa al-Qur’an sama sekali tidak mengajarkan pantheisme dan monisme. Namun dalam perkembangannya, para pemikir Islam telah membuka diri untuk berkenalan dengan ajaran filsafat dari Yunani.

1. al-Ghazali

Salah satu karya monumental yang pernah dimiliki al-Ghazali ialah Ikhya Ulumuddin, sebuah kitab sufistik yang mendapat sambutan sangat meriah dalam dunia Islam. Menurut Romo Zoet, tatkala menjelaskan tentang penyatuan mistik antara Tuhan dan makhluk-Nya (fana’), al-Ghazali mengambil sikap berhati-hati dan enggan untuk mengatakan bahwa Tuhan dan makhluk adalah sama. Dan untuk itulah kemudian al-Ghazali mengambil metafora cahaya, sebagaimana dalam Misykat al-Anwar. Allah adalah cahaya dan sekaligus sumber dari segala cahaya. Dia-lah cahaya sejati yang berkuasa menciptakan dan memberi perintah serta mampu melestarikan penerangan.

Dari sini akhirnya Romo Zoet berkesimpulan bahwa al-Ghazali bukanlah seorang pantheis maupun monis meliankan hanya seorang theis yang othodoks.

2. al-Hallaj

Satu ungkapan khas yang kemudian dinisbahkan kepada al-Hallaj ialah ana al-Haqq, suatu ungkapan yang sering dipahami oleh para peneliti sebagai pantheisme. Namun menurut Romo Zoet, mengikuti pendapat Massignon, bahwasanya mistik al-Hallaj merupakan bentuk pergaulan intim antara Tuhan dengan makhluk-Nya. Pergaulan tersebut tidak bersifat negatif, dalam arti yang satu melebur terhadap yang lain melainkan lebih sebagai ungkapan cinta kasih yang positif.

Dan lagi-lagi Romo Zoet tidak berani berkesimpulan bahwa mistik al-Hallaj dapat dikategorikan dalam pantheisme maupun monisme.

3. Ibn ‘Arabi

Ibn ‘Arabi ketika menjelaskan konsepsi mistiknya, pertama-tama ia menjelaskan hakikat realitas melalui teori emanasi, yang kemudian dikenal dengan “hakikat muhammadiya”. Sebelum terciptanya realitas, pertama-tama dari Allah (Akal Awal) melimpahlah ruh Muhammad dan dari ruh Muhammad itulah realitas demi realitas kemudian mengada. Hakikat Muhammad yang menjadi intisari penciptaan itu merupkan roh universal, itulah hakikat realitas.

Sementara manusia dalam kaitannya dengan emanasi tersebut, ditempatkan pada tataran yang paling rendah, sebagai limpahan paling terakhir dari roh universal. Namun demikian, tatkala seorang manusia menyadari kondisi dirinya, ia lalu berusaha keras untuk mengaktualkan dirinya hingga sampailah pada suatu maqam tertentu yang disebut dengan “Insan Kamil”. Manusia yang awalnya merupakan bayangan dari hakikat Muhammad, berkat dengan usaha kerasnya dapat langsung berhubungan dengan Akal Awal. seseorang yang telah mengalami pencerahan bathin adalah bayangan dari Akal Awal.

Sampai di sini akhirnya Romo Zoet menyimpulkan bahwasanya konsepsi mistik Ibn ‘Arabi bersifat pantheisme dan monisme.

Bab III  Pantheisme dan Monisme dalam Agama Hindu; Magi dan Monisme

Sebagai pengantar selanjutnya Romo Zoet mencoba memaparkan rujukannya terhadap Veda-veda Hindu: Rigveda, Samaveda, Yajurveda, Atharvaveda, Upanishad dan Bhagavadgita. Veda merupakan kitab rujuakan utama dalam agama Hindu, beberapa tokoh yang berpengaruh dalam aliran-aliran filsafat Hindu telah memberikan sumbangsih besar terhadap pengejawantahan veda-veda tersebut. Romo Zoet memperkenalkan deretan nama-nama seperti Sankhya, Jnanadeva, Sankara, Ramanuja dan Saiva-Siddhanta, yang tanpa kehadiran mereka filsafat Hindu menjadi tidak bisa dibunyikan.

Hubungan antara Brahman dengan manusia dalam filsafat Hindu, menurut kesimpulan Romo Zoet, memiliki banyak penjelasan yang beragam. Konsep magi (persembahan korban terhadap dewa) menjadi untuk dimunculkan karena bersandingan dengan praktek-praktek keagamaan Hindu. Dari konsep magi itulah kemudian Romo Zoet menyimpulkan bahwa pantheisme telah berkembang pesat dalam agama Hindu.

Bab IV Pada Perbatasan Orthodoksi

Di sini Romo Zoet mencoba untuk memberi batasan yang ketat mengenai pantheisme, monisme dan monotheisme.

Suatu teori penciptaan (kreationisme) yang tetap mempertahankan keagungan dan kemandirian Tuhan secara utuh dapatkah disandingkan dengan teori emanasi? Secara tegas Romo Zoet menolaknya, citra Tuhan yang dilambangkan sebagai sang pencipta tidak dapat disamakan dengan Akal Awal dalam teori emanasi.

Usaha untuk menjaga kemurnian konsep ketuhanan juga terungkap dalam istilah ‘isk, ‘asik dan ma’suk (rindu/cinta kasih): Tuhan itu pecinta dan sekaligus yang dicintai. Istilah tersebut merupakan satu ungkapan dari pengalaman mistik, kemanunggalan antara Tuhan dengan makhluk-Nya disimbolkan dengan cinta, kemanunggalan dalam cinta.

Bab V  Ajaran Emanasi Menurut ke-7 Martabat

Angka tujuh, baik dalam literatur Islam maupun Jawa rupanya menempati kedudukan yang sangat istimewa. Angka tujuh merupakan angka sakral yang dipakai untuk menjelaskan tingkatan langit dan bumi, surga dan neraka, dan sebagainya. Demikian pula dengan teori emanasi yang mengalami tujuh tingkat perkembangan, membentang mulai keberadaan Akal Awal hingga munculnya manusia. Konsepsi ke-7 martabat ini sangat erat kaitannya dengan teori emanasi dalam versi Islam. Namun demikian orang Jawa tidak serta merta mengutip penjelasan mereka, teori emanasi versi pujangga Jawa memiliki penjabaran yang khas.

Sayangnya terhadap ke-7 martabat tersebut, Romo Zoet tidak memberi keterangan yang lebih luas kecuali hanya sebatas adanya konsep tentang ahadiya, wahda dan wahidiya yang merupakan bentuk penyederhanaan dari teori emanasi versi Islam.

Bab VI  Kebimbangan dalam Menerima Kemanunggalan Antara Tuhan dan Manusia

Menurut Zoetmulder dalam tek-teks suluk Jawa terdapat kebimbangan mengenai kemanunggalan antara makhluk dan Tuhannya tatkala seorang mitisi mengalami ektase dalam laku mistiknya. Pasalnya teks-teks tersebut lebih merupakan ungkapan-ungkapan emosi yang tidak secara doktriner sengaja dimunculkan untuk mengungkapkan adanya kemanunggalan antara makhluk dengan Tuhannya. Di sana jelas sekali tersirat bahwasanya tatkala mengalami ekstasi kesadaran sang mitisi menjadi lenyap sesaat, di saat itulah kemanunggalan itu terjadi. Hal tersebut hanya terjadi dalam beberapa saat dan setelahnya kesadaran sang mitisi pun kembali seperti semula, kembali menyadari bahwasanya antara makhluk dan Tuhan tetapa ada dualitas yang tak bisa disatukan.

Bab VII Aneka Bentuk Teori Emanasi

Teori emanasi sebagaimana yang dipahami sedara umum dalam mistik Islam, merupakan suatu model lain dari teori penciptaan. Dalam teori emanasi Tuhan tidak digambarkan sebagai sang pencipta yang dengan segenap daya keagungannya mencipatakan makhluk, melainkan berkat adanya emanasi Tuhanlah kemudian realitas dunia dan manusia ini mengada. Dalam bab ini Zoetmulder sendiri tidak secara jelas menjelaskan aneka bentuk teori emanasi. Dalam pemaparannya yang demikian panjang, ia hanya menjelaskan mengenai berbagai macam bentuk teori ekstasi, sekali lagi bukan teori emanasi. Kemungkinan besar Romo Zoet telah mencampuradukkan antara pengertian teori emanasi dan teori ekstasi.

Bab VIII  Tuhan Bersemayam di dalam Manusia

Hati sebagai bagian terhalus dalam diri manusia, merupakan suatu sarana yang sengaja dipersiapkan bagi bersemayamnya Tuhan. Dengan demikian, menurut Romo Zoet, akan dijumpai adanya dua pemahaman yang sejajar yakni manunggal dalam rasa dan manunggal dalam hidup. Gembaran mengenai kenyataan ini tidak seperti kemanunggalan antara jiwa dan jasad sebagaimana yang selama in dipahami melainkan badan rohani yang hidupnya dijiwai oleh realitas ilahiah.

Analogi lain yang dimunculkan yakni Tuhan digambarkan laksana sumber cahaya. Tuhan merupakan sumber yang memancarkan cahaya yang sangat terang, banyak orang yang silau dibuatnya sehingga tidak dapat melihat hakikat cahaya tersebut. Ia demikian dekat sehingga mereka yang mengira Ia jauh lalu mencari-Nya di sana, sampai kapanpun tidak akan menemukan apa yang dicarinya. Hanya di dalam diri manusia, Ia dapat ditemukan.

Bab IX Monisme Radikal

Monisme Jawa yang seringkali diasumsikan sebagai ajaran yang dipengaruhi secara kuat oleh mistik Islam ternyata tidaklah demikian menurut Romo Zoet. Mistik Islam yang mulanya menjadi acuan sampai pada tahap tertentu justeru malah disingkirkan, mistik Jawa telah mengambil bentuknya yang sangat khas Jawa. Perlu disadari pula bahwasanya filsafat mistik Hindu juga turut mewarnai terbentuknya mistik Jawa, namun demikain baik terhadap mistik Islam maupun mistik Hindu para pujangga Jawa telah berhasil mengolahnya menjadi suatu ajaran mistik yang betul-betul baru dan independen dari dua pendahulunya.

Kisah tentang Ragayuni, misalnya, ketika menyampaikan ajaran kepada saudaranya Jayengraga dan Jayengresmi menuturkan bahwasanya Tuhan menyentuh dan meresapi manusia tidak dalam rasa, sirr ataupun sukma, melainkan akal budi. Ajaran seperti ini tidak terdapat dalam mistik Islam maupun mistik Hindu. Kemudian mengenai hubungan antara Tuhan dengan makhluk diperumpamakan dengan suami-isteri, hal tersebut tidak terdapat dalam literatur mistik Islam.

Bab X  Perumpamaan Wayang dan Topeng

Ada banyak cara yang dipakai oleh mistisi untuk menjelaskan pemahamannya, salah satu cara yang lazim dipakai dalam hal ini ialah perumpamaan. Perumpamman memang kerap kali dihadirkan tatkala model deskripsi tidak lagi dapat mewakili realitas yang hendak diterangkan atau malah semakin mengaburkan makna. Hubungan antara Tuhan dan makhluk merupakan realitas yang tidak mudah dilukiskan dengan kata-kata, terlebih dalam pandangan seorang mistisi. Oleh sebab itu, pagelaran wayang dan topeng kemudian dimunculkan menjembatani kebuntuan tersebut.

Pagelaran wayang yang tidak bisa dipisahkan dari peran sang dalang merupakan gambaran utuh adanya hubungan antara Tuhan dengan makhluk. Namun wayang dinilai memiliki tahap yang paling rendah karena dalang dan wayang terpisah satu sama lain, hal tersebut dirasa tidak selaras dengan keadaan yang sesungguhnya. Lain pagelaran wayang, lain pula dengan pertunjukkan topeng, dalam pertunjukkan topeng antara peran dan pemain sudah tidak lagi dipisahkan sebagaimana dalam wayang.

Bab XI Aneka Perumpamaan

Perumpamaan-perumpamaan lain yang telah dimunculkan dalam wacana mistik antara lain: cermin, matahari dan bulan, benda yang terapung di atas air dan laut maupun perumpamaan wanita yang sedang menenun dan wanita yang terkurung dalam bola lampu. Analogi-analogi tersebut dimunculkan untuk menjelaskan kehadiran Tuhan dalam diri manusia. Menurut Zoetmulder, semua ungkapan paradoksal tersebut menggambarkan satu ide yang sama, yakni ide dasar mengenai wujudiyah: semua wujud itu tunggal dan mengada karena diri-Nya.

Bab XII  Ajaran Para Wali

Menurut keterangan Romo Zoet ajaran yang disampaikan oleh para wali terkesan adanya pendangkalan pemahaman mengenai mistik Jawa. Hal ini terjadi karena para wali memiliki peran langsung dalam penyebaran agama terhadap masyarakat awam. Namun demikian tidak berarti bahwa para wali tidak memahami konsepsi mistik Jawa, atas pertimbangan-pertimbangan politislah mereka melakukan pendangkalan terhadap ajaran mistik.

Hal ini terlihat jelas tatkala para wali mengadakan musyawarah untuk memutuskan sikap terhadap Siti Jenar yang dinilai telah meresahkan masyarakat. Siti Jenar dinilai sesat dan harus dihukum mati karena telah menyebarkan ajaran rahasia yang seharusnya tidak boleh menjadi konsumsi umum. Biar bagaimanapun para wali tetap mempertahankan pandangan bahwa mistik merupakan sesuatu yang eksklusif, tidak semua orang bisa mengonsumsinya. []

 

B. TINJAUAN BUKU

Sastra Suluk adalah genre sastra sufistik Jawa Kuno tentang bagaimana manusia mengambil jarak terhadap agama melalui ungkapan lintas tradisi kerohanian lokal Jawa Kuno, Islam-Arab maupun Hindu-Buddha.

“Manunggaling Kawulo Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa” merupakan sebuah hasil penelitian disertasi Prof. Dr. Petrus Josephus Zoetmulder pada 1935. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Dick Haryanto (sebagai penerjemah), meski tulisan tersebut merupakan karya yang telah berumur tua namun masih sangat relevan untuk dibaca saat ini terutama bagi mereka yang sedang mendalami khazanah kebatinan Jawa. Dengan disertasinya itu Zoetmulder ingin memberikan sumbangan kecil guna memahami bangsa yang menghasilkan sastra ini. Menurutnya, lewat sastra religius inilah suatu bangsa membuka isi hatinya, dari sinilah ia mulai memahami isi hati orang Jawa.

Berbeda dengan masyarakat barat yang sering dikenal dengan peradabannya yang rasional, masyarakat Jawa –dalam konteks ini— tidak ikut ambil pusing apakah pola pikir yang dijalaninya “rasional” ataukah tidak. Bahkan para ilmuwan barat tidak jarang yang mengatakan bahwa dunia kebatinan merupakan dunia primitif, kenyataan yang memiliki level rendah. Namun tidak demikian bagi Zoetmulder, dilihat dari kerja kerasnya menyelesaikan penelitian ini tersirat bahwa dunia kebatinan Jawa merupakan sesuatu yang unik dan mendalam.

Sebagai ilmuwan yang sekaligus sastrawan membuatnya berani terjun mengikuti jejak para pendahulunya untuk kembali “menjajah tanah Jawa” dan kelihatannya ia telah mendapatkan sesuatu yang dicari-carinya. Lagi-lagi kita patut mengacungi jempol terhadapnya, sebagai orang asing ia memiliki kehebatan tersendiri bisa memahami alam kebatinan orang Jawa, bahkan dengan langsung menyimak sastra suluk Jawa yang tidak semua orang Jawa sanggup memahaminya. Ini merupakan sebuah pencapaian yang sangat luar biasa.

Dan hebatnya lagi ia tidak begitu saja menelan mentah-mentah atas apa yang didapatinya, ia selalu menjaga jarak dan menyampaikan tinjauan kritis sehingga karya tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Salah satu ciri khas kajian ilmiah ialah sudut pandangnya netral –meski tidak sepenuhnya— dan dengan demikian seorang peneliti dapat mempertahankan kekritisannya dan tidak menutup kemungkinan pula bahwa karya tersebut terbuka bagi kritik. Di samping itu, karya tersebut juga merupakan hasil dapi pola pikir yang sangat runtut, terbukti bahwa Romo Zoet berbicara mengenai mistik Jawa dalam rentang sejarah yang dirunut melalui asal-usulnya.

Dalam buku tersebut Zoetmulder memang tidak memberi keterangan secara jelas mengenai teknis penelitiannya, demikaian pula tidak menyebutkan sastra suluk apa saya yang diteliti berikut dengan data-data “biografis” setiap karya sastra. Hal ini dirasa sangat urgen mengingat bahwa karya-karya sastra tersebut menjadi objek material dari penelitian besarnya. Di samping itu, kemampuannya dalam menafsirkan kosa-kata Bahasa Jawa juga masih perlu dipertanyakan pasalnya ada beberapa kosa-kata yang memiliki terjemahan yang tidak sesuai. Dan celakanya lagi, buku “Manunggaling Kawulo Gusti” tersebut merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda, padahal isinya tentang kajian terhadap teks Jawa Klasik. Pastinya ada sekian reduksi yang memungkinkan kita jadi salah mengerti, padahal untuk memahami sastra suluk Jawa tidak cukup hanya dengan mengerti.

Satu hal lagi yang luput dari sasaran Romo Zoet ialah diskursus falsafah Suluk Jawa, di luar isi teks yang disampaikan. Istilah Mijil, Mocopat, Dandanggula, Megartuh, Pucung dan sebagainya, merupakan sebuah rangkaian terminlogi yang memiliki makna filosofis. Di sampaing juga ada banyak diskursus yang melatarbelakangi munculnya Suluk Jawa, hal ini luput dari sapaan Romo Zoet.

Zoetmulder sendiri telah mengakui bahwa khazanah kebatinan Jawa memang dipengaruhi oleh mistik Islam dan mistik Hindu namun berkat kepiawaiannya masyarakat Jawa berhasil mengolah mistisisme tersebut menjadi lebih “njawani”, sesuatu yang kemudian menjadi berbeda dengan mistik Islam maupun mistik Hindu. Dan hal ini menjadi sangat aneh bila kemudian “manunggaling kawula gusti” dipahami secara nalar barat. Untuk dipahami secara mistik Islam maupun mistik Hindu saja sulit, bagaimana mungkin dapat dipahami dengan nalar barat? Oleh karena itu, saya hanya bisa memaklumi kalau kajian tersebut hanya mengada dalam tataran teoritis dan tidak dipahami sebagai pandangan hidup.

Nampaknya hal tersebut juga dirasakan oleh Zoetmulder sendiri sampai kemudian ia melampirkan bab tersendiri mengenai “kebimbangan dalam menerima kemangunggalan antara manusia dan tuhan” (hlm. 136). Menurut hemat saya, kebimbangan tersebut merupakan kebimbangan Zoetmulder sendiri ketika memberi kesimpulan pola pikir masyarakat Jawa. Dan terkait dengan teori emanasi, saya tidak menemukan adanya penjabaran utuh dari Romo Zoet sendiri, memang ada banyak istilah operasional yang tidak ia jelaskan secara khusus.

Kemudian mengenai pendapatnya bahwa ajaran para wali tidak mengungkapkan sesuatu yang baru bahkan terkesan lebih dangkal (hlm. 355), telah menimbulkan pertanyaan yang cukup serius, terlebih karena ia tidak memberi batasan secara jelas apa yang dimaksud “para wali”. Kalau demikian, manunggaling kawula gusti merupakan ajaran siapa?

Hasil karya yang penuh dedikasi ini sepintas memang tampak seperti kitab tafsir eksklusif –untuk tidak mengatakan bahwa ia tidak serius. Suatu karya yang tidak untuk diedarkan secara umum, hanya disampaikan kepada orang-orang tertentu yang memiliki pengetahuan lebih/sebanding dengan pengarangnya. []

 

Tinggalkan komentar

Information

This entry was posted on 16 Desember 2010 by in Java, Mistik.